Riba sebagaimana kita ketahui secara bahasa memiliki arti tambahan. Tambahan yang dimaksud adalah penambahan yang tidak didasari suatu transaksi apapun yang dibenarkan secara syariah.
Untuk memulai pembahasan ini kami mencoba memulai dengan cara berpikir saat masih awam kemudian mendapatkan penjelasan saat pelatihan di perbankan syariah.
Kunci memahami perbedaan transaksi yang menghasilkan riba dengan transaksi yang hasilnya halal sesuai prinsip syariah adalah pada sudut pandang menjadikan uang sebagai apa.
Transaksi akan menghasilkan riba jika uang dijadikan sebagai komoditi, sedangkan transaksi yang dihalalkan secara syariah yaitu menjadikan uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi.
Pertama kali penulis bertanya apa bedanya transaksi riba dengan transaksi yang dibolehkan berdasarkan syariat Islam, jawabannya saat itu sangat menggantung, sehingga seolah diskusi berhenti dengan jawaban bedanya ada di "AKAD".
Hal ini benar memang adanya, namun untuk menjelaskan kepada awam sebagaimana yang penulis awal memahami yaitu dengan adanya sudut pandang terhadap uang tersebut, sebagaimana disampaikan di atas transaksi yang dibolehkan secara syariah yaitu menjadikan uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi.
Analoginya yaitu saat melakukan pengajuan kredit di Bank Konvensional, pengajuan itu hanya melihat kelayakan nasabah mendapatkan "pinjaman" dari Bank Konvensional. Kemudian saat dikabulkan konsekuensinya adalah selama tidak ada kendala pada pembayaran kewajiban angsuran maka nasabah dikatakan baik.
Hal ini menjadikan nasabah di Bank Konvensional bebas menggunakan uang tersebut dengan mengembalikan uang pokok pinjaman ditambah dengan bunganya. Bunga tersebut dihukumi riba. Kenapa?
Baik, kita kembali ke definisi. Riba adalah penambahan yang tidak didasari transaksi apapun sebagai underlying terhadap fungsi uang. Ini yang menjadikan fungsi uang bukan sebagai alat tukar, tapi uang dijadikan sebagai komoditi.
Sedangkan transaksi yang didasari prinsip syariah yaitu adanya pengikatan uang yang disediakan dengan adanya akad, sehingga akad ini menjadi underlying terjadinya transaksi. Uang yang dikeluarkan Bank Syariah kepada nasabah diikat sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Misal, untuk pembelian mobil, Bank Konvensional akan menyediakan uang kepada nasabah untuk membeli mobil yang diinginkan. Secara transaksi terlihat sama, namun dalam sudut pandang Bank Konvensional itu melakukan bisnisnya dengan meminjamkan uang kepada nasabah untuk dibelikan mobil. Saat proses akad kredit dilaksanakan juga tidak menyebutkan berapa keuntungan Bank Konvensional dari transaksi pembelian mobil ini. Yang ada hanya harga mobil dari Bank Konvensional dengan angsuran setiap bulannya berapa?
Sedangkan Bank Syariah konsep transaksi itu diikat dengan transaksi jual beli (bai') dengan akad murabahah (Jual Beli). Jadi Bank Syariah lah yang membelikan mobil tersebut kepada dealer, kemudian nasabah membeli dari Bank Syariah dengan Harga Mobil dari dealer, harga jual dari Bank Syariah kepada nasabah dan keuntungan yang didapat diketahui dan disepakati oleh nasabah.
Ini adalah salah satu contoh studi kasus jual beli, dalam transaksi yang didasarkan pada prinsip syariah selain jual beli yang menghasilkan keuntungan. Ada juga akad sewa (Ijarah) dimana Bank Syariah mendapatkan upah dari obyek yang disewakan kepada nasabah. Ada pula akad kerja sama (Syirkah) dimana Bank Syariah akan mendapat bagi hasil dari keuntungan atas usaha yang dilakukan oleh nasabah.
Fungsi uang inilah yang menjadi pembeda antara Bank Konvensional dan Bank Syariah, kemudian fungsi uang itu didasari oleh transaksi (iwadh) dengan pengikatan akad sehingga bukan menjadikan uang sebagai komoditi, namun uang tetap menjadi alat tukar.
Semoga bisa dipahami, semoga bermanfaat, alon alon wae, ojo ngebut ngebut mocone. hehe
Wallahu A'lam Bishshawab,,,
Komentar
Posting Komentar