Man Jadda Wa Jada




Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,,,

            Tertanggal 12 Agustus 2013 atau lebih tepatnya 5 Syawal 2013 sekitar pukul 03.50 WIB saya terbangun dan seolah merasakan semilir angin kehidupan yang menusuk di dalam dada ini. Pergolakan untuk melanjutkan kenyamanan dan melupakan kewajiban kepada Allah SWT, atau kah  harus memilih untuk sekedar bangun wlaupun harus tertatih-tatih dan mempersembahkan jiwa dan raga saya untuk sang Khalik? Dua pilihan ini saling beradu dan terus menerus bergejolak secara seporadis dalam dada ini. 

            Alhamdulillah, Opsi kedua saya ambil, saya langsung menuju kebelakang karena diawali dengan hasrat membuang air kecil yang sudah tak tertahankan lagi dan sulitnya mata ini untuk sekedar menutup indera penglihatan dan mengistirahatkan otak saya yang sedang memikirkan dan menentukan orientasi kehidupan saya ini. 

            Rasa takut tiba-tiba menyelinap ke dalam hati ini, ya saya pikir ini sangat mengena dan sangat menusuk hati saya. Mungkin boleh dikata saya terlalu banyak memiliki penyakit hati terutama rasa takut yang sejak kecil sudah mengakar dalam diri saya, dan saya yakin ketakutan saya ini adalah rasa takut yang salah karena sesungguhnya takut yang sebenar-benarnya takut ialah takut kepada Allah, dan saya yakin jika saya tidak bisa menyembuhkannya akan berdampak untuk kebarakahan hidup saya, yang bisa dibilang cukup singkat di dunia ini.

             Rasa takut masih saja mendominasi di dalam jiwa ini, suasana yang gelap di bagian belakang rumah ditambah dengan hawa dingin yang masih sangat terasa menyelimuti badan ini, kemudian saya mengambil langkah yang saya anggap efektif untuk menghilangkan rasa takut yang mungkin hanya diciptakan oleh imajinasi atau persepsi yang berlebihan dari dalam diri saya saja. 

            Seolah tidak ingin rasa takut ini memenangkan niat hati saya untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam ini. Setelah saya coba sekitar 5 sampai 7 kali untuk menyalakan lampu, ternyata tidak berhasil jua. 

            Mungkin karena hasrat yang sudah tidak tertahan lagi untuk membuang air kecil, akhirnya saya mengambil langkah jitu untuk mengurangi rasa takut untuk menuju belakang. Saya ambil senter yang ada di tengah-tengah antara ruang belakang dan ruang menghidupkan lampu. Karena sakelar lampunya ada di ruang santai/ kumpul keluarga, tempat menghidupkannya lampu.
            
            Ditengah dua ruangan yang saling bertentangan dan berbeda ini saya mencoba mengambil senter warna merah didalam tas yang didominasi warna hijau. Alhamdulillah dapat sedikit alternatif menghilangkan ketakutan yang mungkin sampai saya menulis cerita inipun masih saya rasakan. Setelah saya dapatkan senter merah tersebut, saya langsung menyalakannya dan dengan cepat menuju kamar kecil yang berjarak sekitar 3 meter dari tempat saya mengambil senter. 

            Setelah itu rona wajah yang tadinya merasa takut, akhirnya mendapatkan sedikit aura gembira ketika hasrat buang air kecil tuntas sudah. Namun, rasa takut ini masih saja menghalangi niatan baik saya untuk sekedar mengambil air wudlu. 

            Yah, mungkin karena suasana gelap dan lumayan mencekam yang saya rasakan. Saya tidak patah arang, saya harus tetap melanjutkan niat saya untuk menyalakan saklar agar dapat menerangi kamar kecil dan saya dapat megambil air wudlu. 

            Tiba-tiba terdengar suara yang datang dari sudut kiri bagian belakang posisi tempat saya berdiri untuk menyalakan lampu, tidak terbesit sedikit pun rasa takut dalam diri saya, karena suara itu adalah suara bidadari cantik yang menemani langkah kaki saya sejak saya pertama kali diturunkan didunia fana ini sampai sebesar sekarang ini.

            Ya, bidadari cantik itu adalah ibu saya. Sosok yang sangat gigih dan pantang menyerah dalam menghadapi masalah dan selalu ulet dalam mengerjakan segala sesuatu. Dengan lembut beliau bertanya “kenapa Sin?”, dengan suara lirih karena takut membangunkan seluruh anggota keluarga, saya pun hanya menjawab sedang menyalakan lampu, tapi entah kenapa tidak nyala-nyala lampunya. 

            Entah kebetulan atau memang sudah diatur skenarionya oleh Allah SWT. Setelah ibu saya menjawab “mungkin karena kurang kenceng aja steker yang menancap di stop kontak”. Saya mencoba menuruti saran ibu saya. Alhasil lampu pun menyala dengan terangnya, niat saya mengambil air wudlu pun dapat saya laksanakan, walaupun dengan air yang bisa dibilang cukup dingin.
             
            Dinginnya air ini memang tak sebanding dengan dinginnya air wudlu yang dibasuhkan Rasulullah SAW ke bagian-bagian badannya ketika beliau hendak melakukan shalat subuh. Namun saya merasakan, hawa dingin inilah yang benar-benar membangunkan pikiran saya dan menerangkan penglihatan mata yang mungkin dapat dikatakan sering melakukan perbuatan maksiat dalam kiprah saya mengarungi pahit-manisnya kehidupan nan fana ini. 

            Selesai mengambil air wudlu saya langsung mempersiapkan alat shalat layaknya sajadah dan baju takwa, sebut saja baju koko. Saya bentangkan sajadah yang kira-kira ukurannya 120 cm x 75 cm dan setelah itu memakai baju takwa / koko.
                
            Rasa dingin terbayarkan sudah dengan ibadah yang saya rasakan sangat berbeda dengan ibadah-ibadah saya sudah-sudah. Saya merasa tenang dan seolah-olah beban hidup yang saya alami semuanya terangkat dan tergantikan oleh nikmatnya melaksanakan shalat malam (Qiyamul lail). 

            Memang hanya beberapa rakaat, namun setiap rakaat yang saya lakukan, saya merasakan tenangnya jiwa dan raga ini yang masih bisa melaksanakan ibadah tanpa ada gangguan dari luar seperti yang dirasakan oleh saudara kita di palestina dan sekitarnya yang sedang digempur serdadu besi yang kapan saja siap membawa mereka ke dalam Surga yang telah Allah janjikan untuk pengorbanan dan jihad fii sabilillah yang telah mereka lakukan.

                Qiyamul lail sudah saya laksanakan, kejenuhan agak sedikit menggerayangi pikiran saya, yang juga boleh dikata sering bermaksiat pula bahkan kadangkala sering melalaikan kewajiban saya sebagai hamba-Nya di dunia ini. 

            Untuk mengobati rasa jenuh itu, saya langsung mengambil Kitab terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sosok suri tauladan yang telah Allah sebutkan sebagaimana dalam firman-Nya laqad kana lakum fii rasulullahi uswatun khasanah. Ya, al-Quran atau biasa disebut Mushaf oleh sebagian orang.

Terbesit dalam pikiran saya tentang sebuah acara hafidz Qur’an di salah satu stasiun TV Indonesia yang dilakukan oleh anak-anak asli Indonesia dengan nada khas ala bocah polos yang mereka lantunkan. Saya mencoba mengikuti nada yang mereka lantunkan yang mungkin jika saya mendengarkan sendiri lantunan atau bacaan Quran saya yang bisa dibilang biasa-biasa saja, saya akan menertawakan suara bacaan saya sendiri. 

Memang di beberapa ayat saya merasa canggung dengan nada yang bisa dibilang agak asing ditelinga saya. Namun subhanallah, setelah saya melakukan hingga berpuluh-puluh ayat, hati saya merasa tenang dan mata saya seolah-olah menahan rintihan air mata yang tidak bisa saya tumpahkan, dan juga tidak bisa saya tahan. Batin ini merintih, seolah-olah saya hanya ada seorang diri di dalam lingkungan seluas isi jagad raya yang entah ada dimana ujungnya. 

Satu lembar terlampaui, dua bahkan tiga lembar sudah saya baca, tiba-tiba pada lembaran keempat saya mendengarkan indahnya lantunan adzan subuh yang masih Allah beri kesempatan kepada hamba-Nya yang kadang kala kufur terhadap nikmat yang Allah berikan selama saya hidup. Hanya bisa mengucapkan Alhamdulillah atas nikmat yang telah Allah karuniakan untuk memulai aktivitas keseharian saya selama ada di dunia.

             Rasa syukur itu langsung saya tumpahkan dengan menyelesaikan halaman keempat dari mushaf yang saya baca. Tepatnya Surah Al-Baqarah ayat 187-210. Setelah pungkas membaca lantunan empat halaman mushaf itu, saya langsung bergegas menuju ke mushola, tempat yang sejak kecil menemani perjalanan hidup saya dan memperkenalkan kehidupan yang bisa dibilang religius, setidaknya sampai saya sekarang dapat merasakan nikmatnya duduk di bangku kuliah.

            Sesampainya di mushola itupun saya masih menyempatkan diri saya untuk melaksanakan ibadah sunnah Qabla subuh (shalat sunnah 2 rakaat sebelum subuh). Iqamah pun telah dikumandangkan bertepatan dengan akan berakhirnya pula shalat qabla subuh yang sudah sampai pada tasyahud akhir.

            Alhamdulillah, mungkin karena masih terbawa suasana Ramadhan, jamaah subuh pagi ini pun bisa dibilang cukup banyak, sekitar 4 sampai 5 shaf. Saya berharap ini akan berlanjut dan semakin bertambah setiap waktunya. Beruntungnya lagi saya masih sempat menikmati shalat di tempat yang memang bukan paling depan, namun saya berada di shaf yang kedua dan ditengah orang-orang yang paling beruntung dihadapan Allah SWT. 

            Selesai sudah shalat wajib 2 rakaat di pagi ini. Saya benar-benar merasa menjadi menusia paling beruntung yang tidak sempat melanjutkan rehatnya badan di tempat pembaringan sementara yang masih Allah berikan kenikmatan kepada hamba-Nya ini untuk dapat merelaksasikan jiwa dan raga yang pernah merasa lelah dan tertatih-tatih menjalani kehidupan ini. 

            Beruntung pula, bagi saya pagi ini tidak melalaikan waktu shalat subuh saya dan dapat merasakan indahnya kemilau malam sebelum fajar menampakan dirinya. Intinya itu Man Jadda Wa Jada (barang siapa bersungguh-sungguh, niscaya akan berhasil). Maha besar Allah dengan segala ciptaanya
Semoga dapat dijadikan lecutan semangat untuk mengawali setiap langkah-langkah kecil dalam mengarungi kehidupan yang masih Allah berikan kesempatan kepada kita hamba-Nya, terutama saya yang pernah bahkan sering melalaikan kewajiban kepada-Nya.

“ Tidak akan ada Kepompong yang bisa menjadi Kupu-kupu jika Kepompong itu terusberdiam diri dan tidak bergerak sedikitpun dari kenyamanannya”

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Komentar

Postingan Populer

Nuryasin: Jamaah Kristen Satu Gereja Masuk Islam Karena Kunci Surga

Kisah Seorang Kakek Muslim dan Anak Keturunan Yahudi