Masyasih? #4 Mengasah Resah



Siapa yang ingin kembali menjadi anak kecil lagi? Masa yang sangat dirindukan bukan? Saat itu kalau mau pergi bermain ya asalpakai baju yang ada di lemari. Tidak pernah mempedulikan matching atau tidak, gombrang sedikit ya biar saja, sobek dikit ya sudah lah.

Belum lagi saat kita menangis, ibu memeluk dan menggendong sambil ‘nyelimur’ untuk mengalihkan kesedihan menjadi ekspresi lain seperti takjub, lucu, kaget, dan lain sebagainya. Meskipun setelah sedikit lebih besar ternyata cara kita merengek tak lagi efektif untuk mendapat perhatian ibu.

Masa – masa itu terlalu indah untuk kita harapkan terjadi saat kita sudah menjajal bagaimana rasanya mendayung perahu yang baru menemui ombaknya di lautan lepas. Masa dimana kita sudah menyadari setiap langkah yang diambil akan menemui konsekuensinya.

Padahal waktu kecil, mungkin diantara kita menginginkan agar bisa segera dewasa. Melihat tontonan di TV kalau jadi anak kuliahan itu menyenangkan. Bisa ke kampus pakai kaos, atau pakai kemeja tapi sengaja tidak dipasang kancing beniknya, pakai tas selempang yang enteng, rambut bebas model, tidak dirazia saat upacara panjang sedikit diminta suruh dicukur, ya pokoknya yang di TV itu kuliah serba enak lah. Kelihatannya! Haha

Mungkin hal semacam itu memang ada, tapi hanya sebagian kecil saja mahasiswa yang beneran bisa seenaknya begitu di kampus. Apalagi kalau kampusnya kampus pendidikan, weleh weleh. Ke kampus harus pakai baju berkerah, kemeja wajib dikancing rapi, pakai tas yang muat laptop, rambut wajib rapi dan tidak boleh gondrong, wajib sepatu meskipun sepatu futsal. wkwk

Tidak jauh seperti anak SMA yang pakai kemeja, sama mungkin lebih terawat saja. Tapi ada juga yang tambah kucel, kumel, umbrus, pah poh, ngah ngoh, dan lah loh juga sih. Tapi mungkin bukan Cuma ada, tapi banyak. hehe

Ada yang berpikiran sama saat masih kecil ingin segera cepat dewasa? Sekarang menyesalkah kalian? Tentu tidak menyesal dong, dikit mungkin iya? Haha

Untuk apa disesali jika memang saat menginjak dewasa seperti saat ini, kita sudah tahu apa yang dituju / idealisme, kita sudah memahami diri kita dan akan berperan sebagai apa nantinya, kita punya prinsip dan pegangan dalam hidup, mental kita sudah biasa jatuh dan dijatuhkan kemudian segera bangkit, pemikiran sudah mulai matang, dan lain sebagainya.

Bangku kuliah tidak menyediakan SKS (jam pertemuan perkuliahan perpekan) wajib tempuh untuk mata kuliah di atas, mata kuliah yang membuat setiap mahasiswanya dapat berpikir dan bersikap dewasa, matang, dan punya karakter yang kuat.

Lalu kenapa tetap masuk kuliah sampai lulus jika bangku kuliah tak bisa mencapai tujuan tersebut. Tentu memang bangku kuliah memiliki tujuan lain selain mendewasakan pemikiran dan sikap mahasiswanya. Bangku kuliah itu tetap penting, karena salah satu sebab kita di kampus memang agar bisa menduduki bangku kuliah bukan?

Di bangku perkuliahan tersebut ada adab yang harus dipenuhi oleh mahasiswa terhadap dosennya, pun sebaliknya oleh dosen terhadap mahasiswanya. Ada ilmu yang jika kita meniatkan untuk menempuhnya karena mengharap ridha Allah SWT, maka perjalanan kita layaknya perjalanan seorang pejuang yang membela agama, dimana ketika meninggalnya kita dalam perjalanan dihukumi mati sebagai syahid.

Ada doa orang tua yang tulus kepada anaknya, senyum mereka ketika amanah sebagai mahasiswa sudah tertunaikan oleh anaknya mulai merekah dihiasi tangis bahagianya. Ada kesungguhanmu dalam menaklukan setiap tantangan dan tugas dosen yang sering kita asumsikan berlebihan, sampai – sampai kita mengeluarkan kalimat canda bahwa, “Tuhan saja menguji hamba-Nya tidak melebihi batas kemampuannya, masa dosen kalau menguji mahasiswanya melebihi batas kemampuan dosen itu sendiri”. Ahahaha

Tentu mungkin masih banyak lagi hikmah lain dari bangku perkuliahan. Namun tak jarang memang hikmah dan pelajaran berharga ditemukan diluar bangku perkuliahan. Hikmah dan pelajaran berharga itu bisa ditemukan saat bersosialisasi dengan teman sesama mahasiswa, organisasi intra maupun ekstra kampus, komunitas – komunitas dan lembaga swadaya masyarakat, bahkan hanya sekedar berbincang dengan penjaga angkringan di pinggir jalan.

Interaksi – interaksi ini menimbulkan pertukaran ide, gagasan, cerita, kepedulian, seni berkomunikasi, dan lainnya sehingga mempengaruhi cara kita berpikir, menyampaikan pendapat, dan berperilaku tentu saja. Jika diamati lebih, maka proses pendewasaan sebagian besar manusia terbentuk melalui interaksi semacam ini.

Komunikasi akan mengajarkan kita banyak hal, kesabaran kita benar – benar diuji disini, kapan harus berbicara dan kapan harus bersabar menahan bicara untuk mendengar lawan bicara menyampaikan pendapatnya. Pernah merasa jenuh berkomunikasi dengan orang lain padahal baru beberapa menit saja berbicara? Sebaliknya, pasti kita juga pernah sangat antusias berbicara dengan orang lain seolah seperti tanpa habis bahan. Pernah kan ya? Hehe

Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Frekuensinya bertemu, ada getaran yang ditimbulkan dalam perbincangan yang berlangsung dalam satuan waktu pertemuan. Makanya sering orang mengatakan jika kita dapat mengetahui frekuensi komunikasi seseorang, kita akan dapat mengetahui dan menggali lebih dalam informasi tentang lawan bicara kita dalam setiap pembicaraan.

Candaan, celetukan, keseriusan, dan format perbincangan lain akan terasa nikmat jika satu dengan lainnya merasa satu frekuensi. Hal ini juga berlaku untuk sekumpulan orang yang terhimpun dalam sebuah organisasi, komunitas, lembaga, dan lain sebagainya.

Komunitas akan mudah menjadi besar jika frekuensi yang ditimbulkannya bisa menjangkau frekuensi orang – orang yang ada di sekitar komunitas tersebut. Sebaliknya, komunitas tidak akan kemana – mana jika frekuensi yang ditimbulkannya tidak menjangkau siapapun. Apa yang dibawanya tidak sampai ke hati – hati manusia disekelilingnya, jangankan hati bahkan telinganya pun enggan untuk mendengar isu apa yang disampaikan komunitas tersebut.

Masih sangat saya ingat, ketika pertama kali masuk kampus saat ospek berlangung, sekarang namanya PKKMB, intinya penerimaan mahasiswa baru. Awal masuk saya sangat menyukai hal – hal yang sifatnya akademik dan prestasi. Sampai sebuah tragedi aneh terbesit di pikiran saya sehingga muncul pertanyaan “kok begini?”.

Hari kelima atau terakhir ospek sebelum penutupan, ada beberapa lembaga minat – bakat yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) menampilkan display atau pertunjukan. Saat itu ada UKM minat bakat penelitian, jurnalistik, olah raga, pecinta alam, dan kerohanian islam (ROHIS). Satu UKM yang sangat meresahkan saya saat itu adalah kerohanian islam.

Ketika melihat display UKM minat bakat lain, ada kesan mereka mengkonsepnya secara lebih matang, setidaknya kami bisa menikmati apa yang ditampilkannya saat itu untuk membuat kami penasaran dan ingin bergabung. UKM kerohanian islam ini berbeda, saya masih ingat sekali ketika para anggotanya masuk langsung memberikan barier yang cukup besar kepada sebagian besar mahasiswa di fakultas kami.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!!!” terdengar seruan keras itu yang menggeledek keluar dari megaphone, pengeras suara yang biasa kita jumpai saat demo mahasiswa. Seruan itu diiringi pengibaran bendera sambil berputar – putar di depan kami, kerumunan mahasiswa di fakultas diarahkan panitia membentuk huruf U.

“Ini apa?” tanya saya dalam pikiran. Aneh saja rasanya melihat hal semacam itu terjadi, sontak saya merasa heran betul. Bukan saya anti dengan kalimat “Allahu Akbar!”, sama sekali bukan. Saya heran karena kok bisa mahasiswa muslim tidak kreatif sama sekali dan menakutkan.

Saya masih ingat, ketika itu media – media mainstream sering memuat cuplikan video atau rekaman aksi – aksi ekstrim yang berbau terorisme yang mengandung teriakan “Allahu Akbar!”. Saya sangat menyayangkan sekali kok kemasannya begitu, tidak menarik sama sekali dan sangat menakutkan.

Kemudian dari keresahan ini terbesit dalam pikiran, saya tidak rela kepada mereka yang berhimpun atas nama organisasi kerohanian islam, di depan mahasiswa yang mayoritas muslim, tapi tidak mencerminkan kebanyakan di antara kami. Kami mahasiswa baru ini tidak bisa menjangkau frekuensi mereka, anak – anak rohis. Saya harus berbuat!

Efek setelah hal itu terjadi tentu saja antusias untuk mengikuti agenda – agenda rohis menjadi sangat sepi. Saya masih ingat peserta yang mengikuti agenda rekrutmen hanya sekitar 25 orang saja, dari sekitar seribu sekian mahasiswa baru di angkatan kami. Itupun sudah termasuk beberapa diantaranya angkatan di atas kami yang konon katanya ingin menjadi lebih baik.

Saya bergumam dalam diam seakan ingin merespon, “Ndak salah? Kamu berharap pada organisasi seperti ini!”, agak skeptis tapi bagaimana lagi, apa yang diharapkan dari organisasi yang hanya berlari berputar – putar sembari berteriak “Allahu Akbar!” dalam promosinya? Tidak masuk!!!

Dari keresahan ini, jalan hidup saya menjadi lebih terarah untuk melakukan apa kedepannya. Saya harus berbuat, Tak cukup dihantui keresahan!!!

Komentar

Postingan Populer

Nuryasin: Jamaah Kristen Satu Gereja Masuk Islam Karena Kunci Surga

Kisah Seorang Kakek Muslim dan Anak Keturunan Yahudi